Pentas
“Morito dan Dua Pelayan di
Rashomon” Zulfa Nasrullah:
SETIAP ORANG ADALAH
BENCANA!
Oleh: Lestari Kusuma Dewi
Auditorium Institut Francais Indonesia
telah disihir menjadi Rashomon yang
luluhlantak akibat bencana. Kertas putih yang
menjuntai ke bawah diibaratkan gedung-gedung yang
telah runtuh.
Tarian dari seorang wanita berkimono putih yang lemah gemulai
dengan sorot cahaya yang mengikuti langkahnya diiringi suara kecapi mendatangkan
aura mencekam di awal pertunjukan.
Wanita itu adalah Kesha, seorang wanita yang sudah memiliki suami tetapi terjerat cinta dengan seorang lelaki bernama Morito. Di tengah hujan
yang mengguyur Rashomon, Morito mengenang percintaannya dengan Kesha yang
menjadi candu. Ia telah berjanji pada wanita itu untuk membunuh seseorang yang
tak pernah Ia benci. Di tengah renungannya Ia bertemu dengan dua orang pelayan yang
baru kehilangan pekerjaannya. Sambil menunggu hujan reda, mereka menyalakan api. Morito dan dua pelayan itu berbincang di malam
yang semakin kelam
di bawah reruntuhan Rashomon. Ketiganya berbagi cerita tentang bencana yang
menghancurkan kota,
kisah perampokan seorang nenek tua yang mencabuti rambut mayat untuk mempertahankan hidupnya, kisah cinta terlarang, dan sampai pada rencana pembunuhan yang berujung tragis. Morito sebagai tokoh utama justru mati dibunuh oleh kedua pelayan yang merasa terancam dan terhina.
Itulah sekilas gambaran keseluruhan cerita yang
dipertunjukan oleh Jalan Teater pada Sabtu (19/10/2019) yang
disutradarai oleh Zulfa Nasrullah. Sejak dibentuk pada 2011, Jalan Teater sudah mulai menunjukkan eksistensinya di dunia teater. Ada banyak pertunjukan teater yang
dipertunjukan diantaranya Petualangan Ken Arok
(2015), Konspirasi (2014), Jelajah Topeng (2013), Kisah Cinta DLL (2011), dan karya lainnya. Nama Jalan Teater sendiri diambil dari seorang tokoh samurai bernama Musashi dalam novel karya Eiji Yoshikawa yang
bukan hanya memahami bagaimana cara menggunakan samurai,
tetapi setiap jurus samurai yang
dipelajarinya mengajarkan Ia kebijaksanaan. Dengan dibentuknya Jalan Teater diharapkan dapat menjadi sarana untuk berekspresi dan tempat mereguk sebanyak–banyaknya ilmu dan pengalaman teater sehingga mampu mengaplikasikannya dalam pertunjukan dengan bijaksana.
Zulfa Nasrullah memang sangat aktif berkecimpung di dunia kesusastraan. Selain menjadi sutradara
di beberapa pertunjukan teater, Zulfa juga banyak menghadirkan karya-karya tulisan
sastra seperti prosa, puisi, kritik yang banyak dimuat di pelbagai media massa.
Selain itu, Zulfa selalu memberikan hal yang menarik di setiap pertunjukan yang
disutradarainya. Bentuk kritik tentang nilai-nilai kehidupan dikemas dengan apik
sehingga memberikan kesan yang mendalam untuk penonton.
Pertunjukan Morito dan Dua Pelayan di Rashomon merupakan salah
satu pertunjukan yang naskahnya diadaptasi dari kumpulan cerpen Rashomon karya Ryunosuke
Akutagawa. Naskah ini berasal dari dua judul
yang berbeda, yaitu “Kesha dan Morito” dan “Rashomon”. Sutradara mengembangkan tokoh
dari kedua cerpen dan mempertemukannya dalam satu cerita yang berlatar sama yaitu
Rashomon. Tokoh-tokoh itu akhirnya hidup dalam problema sosial yang terjadi akibat
sebuah bencana. Setiap peristiwa yang terjadi ditengah kemunduran kota dibenturkan
dengan nilai moral dan norma yang telah hidup dalam masyarakat. Selain
Rashomon, ada banyak karya lain dari Ryunosuke Akutagawa yang bentuknya
kumpulan cerpen, diantaranya Hana, Imogayu, Yabu No Naka, Jigokuhen, dan
lain-lain. Dalam buku kumpulan cerpen yang diberi judul Rashomon ini, Ryonusuke
Akutagawa berusaha mengkrit ik tentang perilaku manusia yang sudah tidak lagi manusiawi.
Jelas sekali hal ini akan menarik jika dikemas dalam sebuah pertunjukan.
Ada beberapa hal yang menarik dalam pertujukan ini. Cerita
dua cerpen yang dipadukan memunculkan kisah baru yang kompleks dan sangat padu.
Sutradara dibantu oleh Rafqi Sadikin sebagai Pimpinan Produksi mengahadirkan suatu
pertunjukan yang berbeda. Tokoh, suasana, latar, dan alur cerita saling
mendukung satu sama lain, sehingga adegan yang dimunculkan selalu memberikan kesan
dan pesan yang mendalam. Selain itu, Hana Eka Hidayati (Kesha), May Ramadhan
(Morito), Fuad Jauharudin (Pelayan 1), dan Willy Fahmi Agiska (Pelayan 2)
sebagai aktor menggunakan properti panggung dengan sangat baik. Aliran surealis
sangat terasa sepanjang pertunjukan. Properti yang hanya berupa kertas putih dialihfungsikan
menjadi uang, kayu bakar, dan diimajikan menjadi reruntuhan Rashomon. Jika
dikaitkan dengan kebudayaan Jepang, tentu hal tersebut relevan mengingat Jepang
merupakan salah satu negara yang sering dilanda gempa. Oleh karena itu,
bangunan di Jepang dibangun dengan bahan yang ringan dan tahan gempa. Maudy Widitia
(Stage Manager) sangat tepat menggunakan kertas yang ringan untuk mengimajikan Jepang.
Apalagi yang diangakat memang berlatar suasana kehancuran Rashomon pasca bencana.
Galih Mahara (Penata Gerak) memberi pengarahan yang baik untuk para aktor sehingga
saat pertunjukan berlangsung gestur dan ekspresi para aktor juga sangat baik,
adegan demi adegan dilewati dengan tertib dan apik. Salah satunya terlihat pada
adegan dimana kedua pelayan bertarung menggunakan samurai, semua dilakukan dengan
sangat total sehingga ketegangannya sampai ke kursi penonton.
Sepanjang pertunjukan didominasi oleh warna biru, kuning dan
hitam. Aji Sangiaji sebagai penata cahaya berusaha mengolaborasikan ketiga warna
tersebut untuk mendukung suasana pertunjukan. Warna biru diibaratkan ketenangan
yang jika dipakai dominan warna ini akan menciptakan perasaan sedih. Hal itu tentu
relevan dengan pertunjukan yang memang banyak memunculkan nuansa melankolis dan
dipenuhi kesedihan. Untuk menunjukan hasrat yang menggebu-gebu, Aji menghadirkan
warna kuning di beberapa bagian perrtunjukan. Selain itu warna hitam dipakai untuk
menimbulkan kesan menakutkan, menegangkan, suram dan penuh misteri. Oleh karena
itu, pencahayaan sangat mendukung penceritaan dalam pertunjukan ini.
Selain penataan cahaya, hal yang penting juga dalam sebuah
pertunjukan adalah penata rias dan kostum. Dengan latar tempat negeri sakura,
tentu para aktor menggunakan pakaian kimono. Selain itu, penggunaan samurai
juga memperkuat latar yang dihadirkan dalam pertunjukan. Dengan pakaian yang
menarik perhatian dan riasan yang menunjang ekspresi aktor tentu Arlene Dwiasti
berhasil dengan konsep rias dan kostumnya.
Pertunjukan teater tidak hanya mengandalkan vokal atau suara
dari para aktornya, tetapi juga perlu didukung dengan penataan musik yang
sesuai agar suasana yang akan dibangun dalam pertunjukan lebih terasa. Ridwan Saidi
menghadirkan musik dalam pertunjukan sebagai ilustrasi, pemberian efek, dan penguat
karakter atau suasana. Musik kecapi yang dilantunkan di awal pertunjukan menghadirkan
aura mencekam dan mengantarkan kita ke suasana negeri sakura. Suara dentuman keras
menandakan sesuatu yang gawat dan suasana menegangkan. Musik sangat berperan
penting untuk menunjang pertunjukan agar penonton lebih merasakan suasana yang
dibangun dalam pertunjukan.
Dalam setiap kelebihan pasti ada kekurangan, begitupun
dalam pertunjukan ini. Bagi penonton yang belum pernah membaca cerita pasti akan
merasa kebingungan dengan alur penceritaan yang kompleks. Setiap dialog yang
dimunculkan mengandung arti yang sangat mendalam dan membutuhkan pemikiran yang
kritis untuk membuka lembaran makna yang sebenarnya ingin disampaikan. Sutradara
memang memberikan banyak keleluasaan kepada penonton untuk menafsirkan setiap
kejadian yang dihadirkan. Sehingga pemahaman setiap orang tentang cerita dalam
pertunjukan ini akan berbeda-beda. Selain itu, vokal aktor di beberapa adegan tidak
terdengar dan kurang stabil, sehingga dialog yang disampaikan kurang jelas terdengar
dan tidak sampai ke penonton.
Akhirnya, pertunjukan ini berusaha menghadirkan potret
moral manusia di tengah bencana yang melanda. Moralitas manusia yang bergeser
akibat bencana dihadirkan lewat tokoh-tokoh dalam cerita. Dari pertunjukan “Morito
dan Dua Pelayan di Rashomon” dapat dilihat bahwa setiap orang dapat menjadi
bencana ketika dihadapkan pada pergeseran moral untuk mempertahankan
hidup dan eksistensinya. Meskipun penceritaan yang diangkat dalam pertunjukan
tersebut adalah problema sosial Jepang pada masa kehancuran Kyoto, saya kira
isi cerita dalam pertunjukan ini masih relevan dengan kejadian-kejadian yang
terjadi saat ini. Melalui tafsir tentang moralitas tokoh-tokoh pada jaman itu,
dikemaslah suatu pertunjukan yang menunjukkan moralitas manusia akan bergeser
akibat bencana, baik
bencana alam atau bencana karena manusia. Oleh karena itu, pertunjukan ini
mengeksplorasi tafsir lain dari bencana tersebut yang berusaha disampaikan pada
penonton yang mengapresiasi pertunjukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar