Minggu, 22 Desember 2019

RESENSI SASTRA (PERTUNJUKAN MORITO DAN DUA PELAYAN DI RASHOMON)

Pentas “Morito dan Dua Pelayan di Rashomon”  Zulfa Nasrullah:
SETIAP ORANG ADALAH BENCANA!
Oleh: Lestari Kusuma Dewi

Auditorium Institut Francais Indonesia telah disihir menjadi Rashomon yang luluhlantak akibat bencana. Kertas putih yang menjuntai ke bawah diibaratkan gedung-gedung yang telah runtuh. Tarian dari seorang wanita berkimono putih yang lemah gemulai dengan sorot cahaya yang mengikuti langkahnya diiringi suara kecapi mendatangkan aura mencekam di awal pertunjukan.
Wanita itu adalah Kesha, seorang wanita yang sudah memiliki suami tetapi terjerat cinta dengan seorang lelaki bernama Morito. Di tengah hujan yang mengguyur Rashomon, Morito mengenang percintaannya dengan Kesha yang menjadi candu. Ia telah berjanji pada wanita itu untuk membunuh seseorang yang tak pernah Ia benci. Di tengah renungannya Ia bertemu dengan dua orang pelayan yang baru kehilangan pekerjaannya.  Sambil menunggu hujan reda, mereka menyalakan api. Morito dan dua pelayan itu berbincang di malam yang semakin kelam di bawah reruntuhan Rashomon. Ketiganya berbagi cerita tentang bencana yang menghancurkan kota, kisah perampokan seorang nenek tua yang mencabuti     rambut mayat untuk mempertahankan hidupnya, kisah cinta terlarang, dan sampai pada rencana pembunuhan yang berujung tragis. Morito sebagai tokoh utama justru mati dibunuh oleh kedua pelayan yang merasa terancam dan terhina.
Itulah sekilas gambaran keseluruhan cerita yang dipertunjukan oleh Jalan Teater pada Sabtu (19/10/2019) yang disutradarai oleh Zulfa Nasrullah. Sejak dibentuk pada 2011, Jalan Teater sudah mulai menunjukkan eksistensinya di dunia teater. Ada banyak pertunjukan teater yang dipertunjukan diantaranya Petualangan Ken Arok (2015), Konspirasi (2014), Jelajah Topeng (2013), Kisah Cinta DLL (2011), dan karya lainnya. Nama Jalan Teater sendiri diambil dari seorang tokoh samurai bernama Musashi dalam novel karya Eiji Yoshikawa yang bukan hanya memahami bagaimana cara menggunakan samurai, tetapi setiap jurus samurai yang dipelajarinya mengajarkan Ia kebijaksanaan. Dengan dibentuknya Jalan Teater diharapkan dapat menjadi sarana untuk berekspresi dan tempat mereguk sebanyakbanyaknya ilmu dan pengalaman teater sehingga mampu mengaplikasikannya dalam pertunjukan dengan bijaksana.
Zulfa Nasrullah memang sangat aktif berkecimpung di dunia kesusastraan. Selain menjadi sutradara di beberapa pertunjukan teater, Zulfa juga banyak menghadirkan karya-karya tulisan sastra seperti prosa, puisi, kritik yang banyak dimuat di pelbagai media massa. Selain itu, Zulfa selalu memberikan hal yang menarik di setiap pertunjukan yang disutradarainya. Bentuk kritik tentang nilai-nilai kehidupan dikemas dengan apik sehingga memberikan kesan yang mendalam untuk penonton.
Pertunjukan Morito dan Dua Pelayan di Rashomon merupakan salah satu pertunjukan yang naskahnya diadaptasi dari kumpulan cerpen Rashomon karya Ryunosuke Akutagawa. Naskah ini berasal dari dua judul yang berbeda, yaitu “Kesha dan Morito” dan “Rashomon”. Sutradara mengembangkan tokoh dari kedua cerpen dan mempertemukannya dalam satu cerita yang berlatar sama yaitu Rashomon. Tokoh-tokoh itu akhirnya hidup dalam problema sosial yang terjadi akibat sebuah bencana. Setiap peristiwa yang terjadi ditengah kemunduran kota dibenturkan dengan nilai moral dan norma yang telah hidup dalam masyarakat. Selain Rashomon, ada banyak karya lain dari Ryunosuke Akutagawa yang bentuknya kumpulan cerpen, diantaranya Hana, Imogayu, Yabu No Naka, Jigokuhen, dan lain-lain. Dalam buku kumpulan cerpen yang diberi judul Rashomon ini, Ryonusuke Akutagawa berusaha mengkrit ik tentang perilaku manusia yang sudah tidak lagi manusiawi. Jelas sekali hal ini akan menarik jika dikemas dalam sebuah pertunjukan.
Ada beberapa hal yang menarik dalam pertujukan ini. Cerita dua cerpen yang dipadukan memunculkan kisah baru yang kompleks dan sangat padu. Sutradara dibantu oleh Rafqi Sadikin sebagai Pimpinan Produksi mengahadirkan suatu pertunjukan yang berbeda. Tokoh, suasana, latar, dan alur cerita saling mendukung satu sama lain, sehingga adegan yang dimunculkan selalu memberikan kesan dan pesan yang mendalam. Selain itu, Hana Eka Hidayati (Kesha), May Ramadhan (Morito), Fuad Jauharudin (Pelayan 1), dan Willy Fahmi Agiska (Pelayan 2) sebagai aktor menggunakan properti panggung dengan sangat baik. Aliran surealis sangat terasa sepanjang pertunjukan. Properti yang hanya berupa kertas putih dialihfungsikan menjadi uang, kayu bakar, dan diimajikan menjadi reruntuhan Rashomon. Jika dikaitkan dengan kebudayaan Jepang, tentu hal tersebut relevan mengingat Jepang merupakan salah satu negara yang sering dilanda gempa. Oleh karena itu, bangunan di Jepang dibangun dengan bahan yang ringan dan tahan gempa. Maudy Widitia (Stage Manager) sangat tepat menggunakan kertas yang ringan untuk mengimajikan Jepang. Apalagi yang diangakat memang berlatar suasana kehancuran Rashomon pasca bencana. Galih Mahara (Penata Gerak) memberi pengarahan yang baik untuk para aktor sehingga saat pertunjukan berlangsung gestur dan ekspresi para aktor juga sangat baik, adegan demi adegan dilewati dengan tertib dan apik. Salah satunya terlihat pada adegan dimana kedua pelayan bertarung menggunakan samurai, semua dilakukan dengan sangat total sehingga ketegangannya sampai ke kursi penonton.
Sepanjang pertunjukan didominasi oleh warna biru, kuning dan hitam. Aji Sangiaji sebagai penata cahaya berusaha mengolaborasikan ketiga warna tersebut untuk mendukung suasana pertunjukan. Warna biru diibaratkan ketenangan yang jika dipakai dominan warna ini akan menciptakan perasaan sedih. Hal itu tentu relevan dengan pertunjukan yang memang banyak memunculkan nuansa melankolis dan dipenuhi kesedihan. Untuk menunjukan hasrat yang menggebu-gebu, Aji menghadirkan warna kuning di beberapa bagian perrtunjukan. Selain itu warna hitam dipakai untuk menimbulkan kesan menakutkan, menegangkan, suram dan penuh misteri. Oleh karena itu, pencahayaan sangat mendukung penceritaan dalam pertunjukan ini.
Selain penataan cahaya, hal yang penting juga dalam sebuah pertunjukan adalah penata rias dan kostum. Dengan latar tempat negeri sakura, tentu para aktor menggunakan pakaian kimono. Selain itu, penggunaan samurai juga memperkuat latar yang dihadirkan dalam pertunjukan. Dengan pakaian yang menarik perhatian dan riasan yang menunjang ekspresi aktor tentu Arlene Dwiasti berhasil dengan konsep rias dan kostumnya.
Pertunjukan teater tidak hanya mengandalkan vokal atau suara dari para aktornya, tetapi juga perlu didukung dengan penataan musik yang sesuai agar suasana yang akan dibangun dalam pertunjukan lebih terasa. Ridwan Saidi menghadirkan musik dalam pertunjukan sebagai ilustrasi, pemberian efek, dan penguat karakter atau suasana. Musik kecapi yang dilantunkan di awal pertunjukan menghadirkan aura mencekam dan mengantarkan kita ke suasana negeri sakura. Suara dentuman keras menandakan sesuatu yang gawat dan suasana menegangkan. Musik sangat berperan penting untuk menunjang pertunjukan agar penonton lebih merasakan suasana yang dibangun dalam pertunjukan.
Dalam setiap kelebihan pasti ada kekurangan, begitupun dalam pertunjukan ini. Bagi penonton yang belum pernah membaca cerita pasti akan merasa kebingungan dengan alur penceritaan yang kompleks. Setiap dialog yang dimunculkan mengandung arti yang sangat mendalam dan membutuhkan pemikiran yang kritis untuk membuka lembaran makna yang sebenarnya ingin disampaikan. Sutradara memang memberikan banyak keleluasaan kepada penonton untuk menafsirkan setiap kejadian yang dihadirkan. Sehingga pemahaman setiap orang tentang cerita dalam pertunjukan ini akan berbeda-beda. Selain itu, vokal aktor di beberapa adegan tidak terdengar dan kurang stabil, sehingga dialog yang disampaikan kurang jelas terdengar dan tidak sampai ke penonton.

Akhirnya, pertunjukan ini berusaha menghadirkan potret moral manusia di tengah bencana yang melanda. Moralitas manusia yang bergeser akibat bencana dihadirkan lewat tokoh-tokoh dalam cerita. Dari pertunjukan “Morito dan Dua Pelayan di Rashomon” dapat dilihat bahwa setiap orang dapat menjadi bencana ketika dihadapkan pada pergeseran moral untuk mempertahankan hidup dan eksistensinya. Meskipun penceritaan yang diangkat dalam pertunjukan tersebut adalah problema sosial Jepang pada masa kehancuran Kyoto, saya kira isi cerita dalam pertunjukan ini masih relevan dengan kejadian-kejadian yang terjadi saat ini. Melalui tafsir tentang moralitas tokoh-tokoh pada jaman itu, dikemaslah suatu pertunjukan yang menunjukkan moralitas manusia akan bergeser akibat bencana, baik bencana alam atau bencana karena manusia. Oleh karena itu, pertunjukan ini mengeksplorasi tafsir lain dari bencana tersebut yang berusaha disampaikan pada penonton yang mengapresiasi pertunjukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar