Minggu, 29 Desember 2019

RESENSI NOVEL "HILANG ARAH" SDAVINCII

 Novel “Hilang Arah” Sdavincii:

ISAK DALAM JARAK

Oleh: Lestari Kusuma Dewi



Judul buku : Hilang Arah                                  
Penulis        : Sdavincii
Penerbit      : Gradien Mediatama
Cetakan pertama: Desember 2019


Kalaupun jarak bukan menjadi penghalang untuk mengabadikan semuanya, maka jarak bisa menjadi titik hancur untuk meruntuhkan semaunya.”
(Sdavinci, “Hilang Arah”)

Jarak menjadi awal mula terjadinya konflik dalam cerita novel yang diberi judul “Hilang Arah” ini. Tokoh Aku meninggalkan kekasih yang sangat amat dicintainya untuk melakukan pengamatan di sebuah pulau terpencil yang jauh dari kota, Pulau Kopi. Ia melakukan pengamatan itu untuk memenuhi tugas akhir dari salah satu dosen yang cukup menakutkan. Ia memilih ekspedisi ke Pulau Kopi karena tempat itu terasa asing. Jadi, ia tertarik untuk melakukan pengamatan disana. Klasifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan disana ternyata tak banyak, hanya tersedia dua slot, untuk fotografer dan seorang analis yang bisa mengajar anak-anak disana sekaligus membuat laporan dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar. Ia segera mendaftar di slot analis, selain karena slot untuk fotografer sudah terisi, ia juga tidak mahir memotret. Sebelum berangkat, ia menemui rekan fotografernya dan pamit pada kekasihnya. Dengan seikat janji ia pergi, meskipun terasa berat, tekad harus tetap kuat. Tak disangka itu menjadi awal mula segala gundah dan resah, akankah ia hilang arah?

Novel “Hilang Arah” merupakan novel yang ditulis setelah novel “Buku Tamu” oleh Sdavincii. Sdavincii merupakan nama pena dari seorang pemuda persilangan Arab-Bugis bernama Syafiq Zakin. Dalam tulisannya, ia selalu bilang bahwa  kelahirannya tiga hari sebelum bulan Februari berakhir dan tanpa tahun yang jelas. Sejak migrasi dari Bali ke Malang pada tahun 2011, ia mulai menjadi santri. Enam tahun di pesantren, ia aktif berkecimpung pada organisasi asrama dan dunia tulis menulis majalah dinding. Bahkan, nama Sdavincii lahir dari paksaan seorang teman untuk membuat sebuah akun Instagram yang khusus berisi sajak-sajak yang ditulisnya. Davinci diambil sebagai buah kekaguman atas mahakarya Leonardo Da Vinci sebagai penulis, pelukis, dan sebagainya. Saat akan digunakan ternyata sudah ada akun yang memakai nama Davinci, setelah dipikir berulang kali, akhirnya ia menambahkan inisial namanya di depan hingga lahirlah Sdavincii.

Cerita dalam novel yang diterbitkan oleh Gradien Mediatama pada Desember 2019 ini, berisi prolog dan 45 bagian cerita yang saling berkaitan satu sama lain. Hal yang menarik dalam novel ini adalah adanya sajak yang menjadi pemisah setiap bagian cerita dan menjadi pembuka jalan cerita untuk bagian selanjutnya. Dengan menyelami sajak yang ditulis sebelum bagian cerita, pembaca akan bisa menebak cerita yang akan terjadi selanjutnya. Selain itu, novel ini mengangkat banyak hal yang sangat erat dengan kehidupan dari mulai keluarga, persahabatan, kritik pemerintah, pendidikan, meskipun yang paling mendominasi adalah kisah percintaannya. Kritik yang dibangun juga disampaikan dengan sangat apik dalam berbagai cara, baik dengan perumpamaan, kejadian yang disesuaikan dengan realita kehidupan, atau dengan dialog antar tokoh, sehingga kritiknya dapat diterima dengan baik dan tidak frontal. Hampir dalam keseluruhan cerita, kata dan kalimat yang digunakan memiliki rima yang pas, sehingga kalimatnya menjadi indah. Buku ini terasa dekat dengan generasi millenial di zaman ini, apalagi sekarang berkeliaran bucin (budak cinta) yang hits di kalangan mereka. Tentunya, buku ini akan membuat mereka baper (bawa perasaan) ketika membacanya.

Dimana ada kelebihan, disana ada kekurangan. Dalam buku ini pun begitu adanya. Di beberapa bagian ada kalimat yang seolah hilang sehingga ceritanya menjadi rumpang dan pesannya kurang tersampaikan. Misalnya dalam kalimat, “Tapi apakah kita tak kesempatan untuk memberi penghormatan terakhir pada kepergian itu?...”. Dalam kalimat di bagian cerita ke 26 halaman 137 ini, kalimatnya kurang enak diresapi, karena ada kata yang seharusnya ditambahkan agar pesannya lebih mendalam. Jika kalimat itu misalnya diubah menjadi “Tapi apakah kita tak diberi kesempatan untuk memberi penghormatan terakhir pada kepergian itu?...”. Penambahan kata diberi tentu menambah estetik dan memperdalam makna kalimat tersebut. Begitupun dibeberapa bagian yang lain. Meskipun begitu untuk keseluruhan cerita penyunting (Rahastri Fajar Puspasari) dan penyelaras aksara (Tri Prasetyo, Inoer H.) sudah cukup berhasil membuat buku ini terlihat sangat estetik. Selain itu, penutup cerita yang dibuat penulis ini masih mengambang. Sepertinya, penulis memang sengaja membuat penceritaan yang seperti itu agar pembaca dapat leluasa memilih akhir cerita tokoh utama sesuai keinginannya. Entah pada akhirnya tokoh utama akan mati dalam keputusasaan atau malah bangkit dengan adanya cinta yang menggetarkan perasaan? Jawabannya ada ditangan pembaca sekalian.

Penceritaan dalam novel ini menggunakan alur maju dengan penggambaran watak tokoh yang diperlihatkan lewat tingkah laku, reaksi tokoh terhadap suatu kejadian, dan dialog antar tokoh. Ada 4 tokoh utama cerita dalam novel ini, yaitu Aku, Adinda (Kekasih Aku), Rekan Fotografer, dan Sang Dokter. Sementara tokoh pendamping yang hanya muncul di beberapa bagian cerita diantaranya Pak Dosen, Ela, Wawak Kampung, Pihak Expo, Mamak Arisan, dan Martiaz. Latar yang dibangun dalam novel ini lebih banyak berlatar Pulau Kopi. Penulis sangat apik menghadirkan segala nuansa sejarah, keindahan dan kekayaan alam khususnya yang berhubungan dengan kopi. Sudut pandang orang pertama sebagai pelaku utama digunakan oleh penulis dalam  penceritaan novel “Hilang Arah” ini. Gaya bahasa yang unik dan dirangkai sedemikian rupa agar rima akhir di setiap kalimat sama menjadi ciri khas novel yang ditulis Sdavincii ini.

Sampul yang didominasi warna hitam yang didesain oleh Katalika  Project, Techno sedikitnya memberikan gambaran pada pembaca bahwa cerita didalam buku ini akan dipenuhi kelam dan gelap pekat. Pada budaya barat, warna hitam ini melambangkan kematian dan kesedihan yang mendalam sehingga menimbulkan perasaan tertekan. Selain itu, gambar kaki yang menggantung juga dapat diibaratkan seseorang yang sudah tak tahu lagi harus melangkah ke arah mana atau sudah buta langkah, sehingga sangatlah cocok jika penulis memberi judul “Hilang Arah” untuk novel ini.

Akhirnya, cerita yang diangkat dalam novel ini sangat cocok dinikmati oleh para remaja atau dewasa yang sedang dimabuk asmara agar mereka tak terlalu berlebihan dalam memaknai cinta pada pasangannya. Ketika kita terlalu berharap pada manusia, maka bersiaplah untuk kecewa. Pada cerita yang diangkat oleh Sdavincii ini, kita bisa belajar bersama, bahwa kepercayaan berperan penting dalam sebuah hubungan. Permasalahan harus segera diselesaikan. Cinta bukan permainan yang kau tinggalkan saat merasa bosan atau kau sudahi saat sudah ada pengganti. Jangan hilang arah karena cinta yang kandas atau kasih yang telah tinggal ditempat yang abadi. Kamu selalu kuat karena telah bertahan sampai sejauh ini.

Seperti yang Sdavinci tuliskan dalam sampul penutup bukunya.

Waktu tinggal detik.
Langkah tinggal jejak.
Di sela hujan rintik,
yang terdengar hanya isak.
(Sdavincii, “Hilang Arah”)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar