Sajak-Sajak Choi, Jun: Jejak Kenangan tentang Nusantara
Oleh Lestari Kusuma Dewi
Judul Buku: Kumpulan Sajak Orang Suci, Pohon Kelapa
Penulis : Choi, Jun
Penerjemah : Kim Yong Soo dan Nenden Lilis A.
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Tebal buku : ix + 123
Cetakan pertama : Oktober 2019
Kematian di luar dugaan
menyela di tengah kehidupan
(Choi, Jun, “Jejak atau
Ingatan”)
Dalam pengantarnya yang tertuang dalam buku kumpulan sajak yang
diberi judul “Orang Suci, Pohon Kelapa”, Choi, Jun mempersembahkan bukunya
untuk ayahanda dan adiknya tercinta yang sudah tinggal dalam keabadian. Choi,
Jun mengungkapkan ayahnyalah yang telah mengajaknya tinggal di Indonesia selama
5 tahun (2000-2005). Kumpulan sajak yang tertuang di buku ini merupakan jejak
kenangan dari hasil Ia merenungi alam semesta selama Ia tinggal di Indonesia.
Itulah awal mula terciptanya buku kumpulan sajak tentang Indonesia ini. Choi,
Jun sendiri lahir di Kabupaten Jeongseon, Provinsi Gangwon, Korea, tahun 1963.
Selain Kumpulan Sajak Orang Suci, Pohon Kelapa, Choi Jun juga memiliki banyak
karya lainnya diantaranya Kau Masih di Sana; Anjing; Melemparkannya ke Dunia
Tanpa Aku; Meditasi tentang Rumah atau Pencarian Jalan (kumpulan sajak tiga
penyair); dan Cinta Gaya Slav (kumpulan sajak tiga penyair). Karya-karyanya
tersebut mengantarkan Choi Jun pada sebuah penghargaan sebagai penyair baru
dari Sastra Bulanan Korea pada tahun 1984.
Kumpulan Sajak Orang Suci, Pohon Kelapa ini diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia oleh Kim Yong Soo dan Nenden Lilis A. yang diterbitkan oleh Kepustakaan
Populer Gramedia dengan cetakan pertama Oktober 2019. Lewat kumpulan sajak ini,
penyair menuangkan pengalamannya ketika Ia tinggal di Indonesia yang kebudayaan
dan tradisinya sangat jauh berbeda dengan Korea. Upaya penerjemah dalam
mempertahankan estetika dan unsur-unsur puitik sajak-sajak dalam buku ini
terlihat jelas. Hal itu terjadi karena kedua penerjemah buku ini juga memang
berkecimpung di dunia kesusasteraan. Kim Yong Soo sudah menulis dan mengarang
sejumlah tesis dan buku-buku. Ia juga pernah memegang jabatan sebagai Kepala
Siaran Bahasa Indonesia, Siaran Internasional, KBS (Korean Broadcasting System)
selama 30 tahun dan baru-baru ini mendapat pengghargaan dari majalah sastra
Korea Changjak 21 sebagai penyair baru. Begitu pula dengan Nenden Lilis A., Ia
banyak menulis sajak, cerpen, dan esai yang sudah dimuat dalam berbagai media
massa nasional dan internasional. Salah satu karyanya yang berupa Kumpulan
Cerpen Ruang Belakang mendapatkan Penghargaan Pusat Bahasa pada tahun 2005. Ia
juga kerap kali diundang untuk menjadi pembicara di banyak event sastra.
Selain itu, Ia juga banyak menerjemahkan karya sastra mancanegara. Oleh sebab
itu, tentu Kim Yong Soo dan Nenden Lilis A. merupakan perpaduan yang tepat
untuk menerjemahkan sajak-sajak tentang Indonesia karya Choi, Jun ini.
Buku yang berisi 61 judul sajak ini mengangkat segala fenomena
kehidupan yang tak terbayangkan sebelumnya. Hal-hal yang dianggap biasa dapat
menjadi sebuah kemasan yang menarik jika dikaitkan dalam berbagai aspek kehidupan.
Banyak pengimajinasian tentang alam, keberagaman flora dan fauna, lingkungan,
keadaan sosial di masyarakat dan masih banyak lagi yang dalam hal ini kaitannya
dengan Indonesia. Kita ketahui bersama bahwa Indonesia kaya akan flora dan
fauna. Selain itu, Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan dengan kurang
lebih 17.504 pulau, 1.340 suku bangsa, dan 546 bahasa. Apakah sajak-sajak yang
ditulis Choi, Jun dalam buku ini dapat melukiskan Indonesia sepenuhnya?
Sajak pertama yang membuka lembaran buku ini berjudul “Pisang di
Pulau Jawa”. Sajak ini bercerita tentang seorang wanita yang memiliki banyak
anak tetapi tak memiliki suami. Terdapat banyak majas personifikasi dalam sajak
ini. Salah satunya dalam kalimat “Di sungai, laut, dataran, juga rumah
terguncang sedih”. Dalam kalimat tersebut diksi sedih merupakan hal yang
biasanya dirasakan oleh manusia. Namun, dalam sajak ini konteks sedihnya
merujuk kepada sungai, laut, dataran, dan rumah.Dalam sajak yang tertuang di buku ini sangat terlihat jelas ketertarikan
penyair terhadap pohon yang tumbuh di Indonesia dan dekat dengan kehidupan
masyarakat. Pohon pisang yang dianggap hal biasa di Indonesia diangkat dalam
dua judul sajak dalam buku ini. Sajak lainnya berjudul “Sketsa Terakhir Tentang
Pisang”, sajak tentunya dikemas dengan diksi yang indah, seperti salah satu
kutipannya, yaitu “...Pisang, terlalu ringan. Seolah akan berkelepak terbang.
Jika dipanggil namanya”. Selain pisang ada juga pohon lain yaitu Pepaya yang
diberi judul “Tarian Pepaya”. Sajak itu bercerita tentang sebatang pohon pepaya
yang tumbuh di tepi pantai yang disandingkan dengan tarian anak perempuan dan
anak laki-laki yang disebutkan putri dan putra pepaya yang mungil. Selain pohon
pisang dan pohon pepaya, ada juga pohon kelapa. Bahkan, “Orang Suci, Pohon
Kelapa” oleh penyair diangkat menjadi judul buku ini. Penyair dengan gaya yang
unik mengilustrasikan pohon kelapa menjadi orang bodoh yang pinggangnya sudah
bengkok dan ringkih yang terus bertahan dalam berbagai musim meskipun tubuhnya
terluka dan kehausan. Ia selalu mengenakan tasbih tengkorak dan menunggu waktu
untuk sepenuhnya melapuk di kuburan. Bagi masyarakat Indonesia, persajakan
tentang pohon yang dihadirkan oleh penyair Choi, Jun tentu hal yang menarik,
karena jarang sekali menemukan sajak-sajak dari penyair Indonesia yang
menyoroti hal tersebut. Akan tetapi jika dipandang dari kebudayaan Korea, hal
itu tentu sesuai dengan nilai-nilai yang dijunjung masyarakatnya. Salah satu
kebiasaan masyarakat Korea yang patut di tiru oleh masyarakat Indonesia sendiri
adalah “Memanusiakan Pohon”. Pohon yang telah ditanam ditopang dengan batang
kayu yang dilapisi serabut kelapa agar sang pohon tak merasa sakit atau
terluka. Pada musim panas, Pengelola Pertamanan Korea memberikan pengairan dan
infus kepada pohon agar tidak kehausan dan dehidrasi. Pada musim dingin, pohon
akan diselimuti oleh aneka ijuk yang dibentuk seperti tikar agar terhindar dari
serbuan angin musim dingin. Hal tersebut tentu sangat jarang dijumpai di Indonesia.
Selain tentang pohon, penyair juga sangat terlihat menghayati
nuansa kehidupan sehari-harinya selama Ia tinggal di Indonesia. Bahkan hal-hal
kecil yang tampak sepele di hadirkan melalui sajak-sajaknya, diantaranya
tentang semut (Semut-Semut Petang Hari), kura-kura (Kura-Kura Laut), dan
lain-lain. Penyair juga menghadirkan suasana pegunungan dan pesisir pantai,
karena sebagian besar sajaknya berlatar tempat tersebut. Dalam kumpulan sajak
ini ditemukan juga pandangan dan perasaan penyair tentang kehidupan sehari-hari
seperti tentang andong (Andong Kuda Poni dan Andong Kuda Poni 2), nelayan (Pemuda
Nelayan), dan lain-lain. Selain itu, keindahan alam dan objek wisata Indonesia
dituangkan juga lewat sajak-sajak diantaranya “Candi Borobudur”, “Puncak”,
“Pemandangan Ladang Tebu 1”, “Pemandangan Ladang Tebu 2”, dan “Cara Bertamasya
di Bali dengan Sedap”, meskipun dalam isi puisinya di beberapa bagian juga
mengandung kritik terhadap cara pandang dan kerja paksa yang memang sempat
terjadi di Indonesia.
Selain itu ada beberapa sajak yang menyoroti tentang objek-objek
bersejarah yang berlatar museum, seperti pada sajak “Homo Erectus”, “Kerutan
Waktu” dan lain-lain. Dalam hal ini pembaca diajak menghayati suasana masa lalu
hingga masuk pada peradaban-peradaban yang dewasa ini mulai dilupakan. Kedua sajak
itu dikemas dengan pilihan diksi yang sangat puitis, contohnya dalam kutipan sajak kerutan waktu di bagian akhir, "...Pukul enam sore, saat lampu museum dinyalakan. seakan datang lagi kegelapan gua batu. Di sela lutut kakek yang mengering. melintas kembali angin yang pernah bertiup. di hutan rimba dua ratus tahun silam". Oleh karena itu, pembaca tidak akan merasa bosan ketika membacanya,
Dalam kumpulan sajak dari Choi, Jun ini juga dapat dijumpai kritik
sosial, salah satunya dalam sajak “Bulan Purnama untuk Malam Ini”. Dalam sajak
tersebut Choi, Jun melukiskan tentang seorang anak yang masih berusia 6-7 tahun
yang berada dalam kegelapan malam di gang sendirian. Namun, ada hal yang menarik
dalam sajak ini jika di telaah lebih dalam. Sajak ini digambarkan sedikit
surealis didukung dengan penceritaan yang menyayat hati. Tentu yang digambarkan
dalam sajak ini adalah seorang anak jalanan, Ia sedang memakan roti yang entah
didapatkan darimana karena toko sudah tutup. Tetapi roti itu tak habis-habis
dan terus berbentuk bulat, karena Ia membayangkan bulan sebagai roti untuk Ia
makan. Hal itu sangat mengiris hati, karena di Indonesia sendiri fenomena
tersebut sangat sering dijumpai.
Selain tentang kritik sosial, di dalam sajak “Dua Puluh Tahun Lalu”
dan “Ladang Garam Burung Cendrawasih”, “Pangeran Hutan Rimba”, “Perpustakaan
Hutan Rimba” dan lain-lain, penyair mengungkapkan kritiknya tentang permasalahan
lingkungan alam. Dalam sajak “Perputakaan Hutan Rimba” ada satu kutipan kalimat
yang menohok masyarakat Indonesia, yaitu
“Penebangan pohon ilegal secara
terbuka untuk renovasi perpustakaan telah dimulai...”. Tentunya kutipan itu mengkritisi
tentang penebangan pohon secara liar yang bahkan terjadi hingga sekarang di
Indonesia ini. Sedangkan sajak yang kedua dan ketiga menyoroti tentang
pengeksploitasian burung cendrawasih oleh manusia-manusia yang serakah, hingga
saat ini burung tersebut menjadi burung langka yang sangat dijaga habitatnya
agar tidak punah. Seperti pada sajak sebelumnya, penyair mengemas kritiknya
dengan apik, sehingga tetap terasa estetika dalam setiap ungkapan makna yang
dihadirkan dalam kumpulan sajak ini.
Ada yang berbeda dari pengungkapan sajak “Terowongan”. Jika sajak
lainnya menggunakan gaya puisi modern, sajak ini menggunakan penyusunan yang
berbeda, karena terdapat permainan sudut pandang di dalamnya. Sajak ini dibagi menjadi 3 bagian, dimana
bagian pertama merupakan sudut pandang anak laki-laki, bagian kedua sudut
pandang anak perempuan, dan bagian ketiga merupakan sudut pandang dari penyair
yang menghubungkan kisah anak laki-laki dan anak perempuan itu.
Akhirnya
buku dengan jumlah 123 halaman dan tebal 13 cm x 20 cm ini menghadirkan potret
Indonesia hampir secara menyeluruh. Pengungkapan diksi yang menarik dan penuh
makna merupakan daya tarik dari buku ini. Meskipun hasil terjemahan tetapi buku
ini tak kalah menarik jika disandingkan dengan buku kumpulan sajak yang memang
ditulis oleh penyair Indonesia. Penyair banyak menyoroti tentang hal-hal yang
sudah mulai terlupakan oleh masyarakat Indonesia sendiri, diantaranya tentang
objek-objek masa lalu, perawatan pohon, juga kritik-kritik tentang alam dan
problem sosial yang memang menjadi masalah utama yang terjadi saat ini. Selain
61 puisi yang menarik, editor (Candra Gautama) dan penata letak (Teguh Erdyan
dan Wendie Artswenda) terlihat sangat teliti dalam memperhatikan
tulisan-tulisan dalam buku ini, karena tidak ditemukan kesalahan penulisan
dalam buku ini dengan tata letak yang estetik. Pembaca dapat menyelami
sajak-sajak dalam buku ini dengan asyik.
Keseluruhan cerita dalam kumpulan sajak di buku ini terwakili oleh ungkapan
dari seorang penerjemah buku ini, Nenden Lilis A. Ia mengungkapkan:
“Dalam kumpulan sajak ini, penyair Choi, Jun mengangkat segala
nuansa yang hidup dan berdegup dalam pengalaman hidupnya selama di Indonesia.
Ia tampak menghayati, merasakan dan menyelami semua itu dengan dekat bahkan
hingga hal-hal kecil dan mungkin tampak sepele. Dari sudut pandang saya sebagai
penerjemah, buku ini selain memberi kontribusi sebagai dokumen sosial,
memperkaya dan menyadarkan pandangan kita akan hal-hal yang luput dari
kesadaran keseharian kita karena terlanjur dianggap biasa dan rutin.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar