Minggu, 22 Desember 2019

RESENSI SASTRA (BUKU KUMPULAN SAJAK ORANG SUCI, POHON KELAPA)

Sajak-Sajak Choi, Jun: Jejak Kenangan tentang Nusantara
Oleh  Lestari Kusuma Dewi




Judul Buku: Kumpulan Sajak Orang Suci, Pohon Kelapa

Penulis                  : Choi, Jun
Penerjemah           : Kim Yong Soo dan Nenden Lilis A.
Penerbit                : Kepustakaan Populer Gramedia
Tebal buku            : ix + 123
Cetakan pertama  : Oktober 2019





Kematian di luar dugaan
menyela di tengah kehidupan
 (Choi, Jun, “Jejak atau Ingatan”)

Dalam pengantarnya yang tertuang dalam buku kumpulan sajak yang diberi judul “Orang Suci, Pohon Kelapa”, Choi, Jun mempersembahkan bukunya untuk ayahanda dan adiknya tercinta yang sudah tinggal dalam keabadian. Choi, Jun mengungkapkan ayahnyalah yang telah mengajaknya tinggal di Indonesia selama 5 tahun (2000-2005). Kumpulan sajak yang tertuang di buku ini merupakan jejak kenangan dari hasil Ia merenungi alam semesta selama Ia tinggal di Indonesia. Itulah awal mula terciptanya buku kumpulan sajak tentang Indonesia ini. Choi, Jun sendiri lahir di Kabupaten Jeongseon, Provinsi Gangwon, Korea, tahun 1963. Selain Kumpulan Sajak Orang Suci, Pohon Kelapa, Choi Jun juga memiliki banyak karya lainnya diantaranya Kau Masih di Sana; Anjing; Melemparkannya ke Dunia Tanpa Aku; Meditasi tentang Rumah atau Pencarian Jalan (kumpulan sajak tiga penyair); dan Cinta Gaya Slav (kumpulan sajak tiga penyair). Karya-karyanya tersebut mengantarkan Choi Jun pada sebuah penghargaan sebagai penyair baru dari Sastra Bulanan Korea pada tahun 1984. 
Kumpulan Sajak Orang Suci, Pohon Kelapa ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Kim Yong Soo dan Nenden Lilis A. yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia dengan cetakan pertama Oktober 2019. Lewat kumpulan sajak ini, penyair menuangkan pengalamannya ketika Ia tinggal di Indonesia yang kebudayaan dan tradisinya sangat jauh berbeda dengan Korea. Upaya penerjemah dalam mempertahankan estetika dan unsur-unsur puitik sajak-sajak dalam buku ini terlihat jelas. Hal itu terjadi karena kedua penerjemah buku ini juga memang berkecimpung di dunia kesusasteraan. Kim Yong Soo sudah menulis dan mengarang sejumlah tesis dan buku-buku. Ia juga pernah memegang jabatan sebagai Kepala Siaran Bahasa Indonesia, Siaran Internasional, KBS (Korean Broadcasting System) selama 30 tahun dan baru-baru ini mendapat pengghargaan dari majalah sastra Korea Changjak 21 sebagai penyair baru. Begitu pula dengan Nenden Lilis A., Ia banyak menulis sajak, cerpen, dan esai yang sudah dimuat dalam berbagai media massa nasional dan internasional. Salah satu karyanya yang berupa Kumpulan Cerpen Ruang Belakang mendapatkan Penghargaan Pusat Bahasa pada tahun 2005. Ia juga kerap kali diundang untuk menjadi pembicara di banyak event sastra. Selain itu, Ia juga banyak menerjemahkan karya sastra mancanegara. Oleh sebab itu, tentu Kim Yong Soo dan Nenden Lilis A. merupakan perpaduan yang tepat untuk menerjemahkan sajak-sajak tentang Indonesia karya Choi, Jun ini.
Buku yang berisi 61 judul sajak ini mengangkat segala fenomena kehidupan yang tak terbayangkan sebelumnya. Hal-hal yang dianggap biasa dapat menjadi sebuah kemasan yang menarik jika dikaitkan dalam berbagai aspek kehidupan. Banyak pengimajinasian tentang alam, keberagaman flora dan fauna, lingkungan, keadaan sosial di masyarakat dan masih banyak lagi yang dalam hal ini kaitannya dengan Indonesia. Kita ketahui bersama bahwa Indonesia kaya akan flora dan fauna. Selain itu, Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan dengan kurang lebih 17.504 pulau, 1.340 suku bangsa, dan 546 bahasa. Apakah sajak-sajak yang ditulis Choi, Jun dalam buku ini dapat melukiskan Indonesia sepenuhnya?
Sajak pertama yang membuka lembaran buku ini berjudul “Pisang di Pulau Jawa”. Sajak ini bercerita tentang seorang wanita yang memiliki banyak anak tetapi tak memiliki suami. Terdapat banyak majas personifikasi dalam sajak ini. Salah satunya dalam kalimat “Di sungai, laut, dataran, juga rumah terguncang sedih”. Dalam kalimat tersebut diksi sedih merupakan hal yang biasanya dirasakan oleh manusia. Namun, dalam sajak ini konteks sedihnya merujuk kepada sungai, laut, dataran, dan rumah.Dalam sajak yang tertuang di  buku ini sangat terlihat jelas ketertarikan penyair terhadap pohon yang tumbuh di Indonesia dan dekat dengan kehidupan masyarakat. Pohon pisang yang dianggap hal biasa di Indonesia diangkat dalam dua judul sajak dalam buku ini. Sajak lainnya berjudul “Sketsa Terakhir Tentang Pisang”, sajak tentunya dikemas dengan diksi yang indah, seperti salah satu kutipannya, yaitu “...Pisang, terlalu ringan. Seolah akan berkelepak terbang. Jika dipanggil namanya”. Selain pisang ada juga pohon lain yaitu Pepaya yang diberi judul “Tarian Pepaya”. Sajak itu bercerita tentang sebatang pohon pepaya yang tumbuh di tepi pantai yang disandingkan dengan tarian anak perempuan dan anak laki-laki yang disebutkan putri dan putra pepaya yang mungil. Selain pohon pisang dan pohon pepaya, ada juga pohon kelapa. Bahkan, “Orang Suci, Pohon Kelapa” oleh penyair diangkat menjadi judul buku ini. Penyair dengan gaya yang unik mengilustrasikan pohon kelapa menjadi orang bodoh yang pinggangnya sudah bengkok dan ringkih yang terus bertahan dalam berbagai musim meskipun tubuhnya terluka dan kehausan. Ia selalu mengenakan tasbih tengkorak dan menunggu waktu untuk sepenuhnya melapuk di kuburan. Bagi masyarakat Indonesia, persajakan tentang pohon yang dihadirkan oleh penyair Choi, Jun tentu hal yang menarik, karena jarang sekali menemukan sajak-sajak dari penyair Indonesia yang menyoroti hal tersebut. Akan tetapi jika dipandang dari kebudayaan Korea, hal itu tentu sesuai dengan nilai-nilai yang dijunjung masyarakatnya. Salah satu kebiasaan masyarakat Korea yang patut di tiru oleh masyarakat Indonesia sendiri adalah “Memanusiakan Pohon”. Pohon yang telah ditanam ditopang dengan batang kayu yang dilapisi serabut kelapa agar sang pohon tak merasa sakit atau terluka. Pada musim panas, Pengelola Pertamanan Korea memberikan pengairan dan infus kepada pohon agar tidak kehausan dan dehidrasi. Pada musim dingin, pohon akan diselimuti oleh aneka ijuk yang dibentuk seperti tikar agar terhindar dari serbuan angin musim dingin. Hal tersebut tentu sangat jarang  dijumpai di Indonesia.
Selain tentang pohon, penyair juga sangat terlihat menghayati nuansa kehidupan sehari-harinya selama Ia tinggal di Indonesia. Bahkan hal-hal kecil yang tampak sepele di hadirkan melalui sajak-sajaknya, diantaranya tentang semut (Semut-Semut Petang Hari), kura-kura (Kura-Kura Laut), dan lain-lain. Penyair juga menghadirkan suasana pegunungan dan pesisir pantai, karena sebagian besar sajaknya berlatar tempat tersebut. Dalam kumpulan sajak ini ditemukan juga pandangan dan perasaan penyair tentang kehidupan sehari-hari seperti tentang andong (Andong Kuda Poni dan Andong Kuda Poni 2), nelayan (Pemuda Nelayan), dan lain-lain. Selain itu, keindahan alam dan objek wisata Indonesia dituangkan juga lewat sajak-sajak diantaranya “Candi Borobudur”, “Puncak”, “Pemandangan Ladang Tebu 1”, “Pemandangan Ladang Tebu 2”, dan “Cara Bertamasya di Bali dengan Sedap”, meskipun dalam isi puisinya di beberapa bagian juga mengandung kritik terhadap cara pandang dan kerja paksa yang memang sempat terjadi di Indonesia.
Selain itu ada beberapa sajak yang menyoroti tentang objek-objek bersejarah yang berlatar museum, seperti pada sajak “Homo Erectus”, “Kerutan Waktu” dan lain-lain.  Dalam hal ini pembaca diajak menghayati suasana masa lalu hingga masuk pada peradaban-peradaban yang dewasa ini mulai dilupakan. Kedua sajak itu dikemas dengan pilihan diksi yang sangat puitis, contohnya dalam kutipan sajak kerutan waktu di bagian akhir, "...Pukul enam sore, saat lampu museum dinyalakan. seakan datang lagi kegelapan gua batu. Di sela lutut kakek yang mengering. melintas kembali angin yang pernah bertiup. di hutan rimba dua ratus tahun silam". Oleh karena itu,  pembaca tidak akan merasa bosan ketika membacanya,
Dalam kumpulan sajak dari Choi, Jun ini juga dapat dijumpai kritik sosial, salah satunya dalam sajak “Bulan Purnama untuk Malam Ini”. Dalam sajak tersebut Choi, Jun melukiskan tentang seorang anak yang masih berusia 6-7 tahun yang berada dalam kegelapan malam di gang sendirian. Namun, ada hal yang menarik dalam sajak ini jika di telaah lebih dalam. Sajak ini digambarkan sedikit surealis didukung dengan penceritaan yang menyayat hati. Tentu yang digambarkan dalam sajak ini adalah seorang anak jalanan, Ia sedang memakan roti yang entah didapatkan darimana karena toko sudah tutup. Tetapi roti itu tak habis-habis dan terus berbentuk bulat, karena Ia membayangkan bulan sebagai roti untuk Ia makan. Hal itu sangat mengiris hati, karena di Indonesia sendiri fenomena tersebut sangat sering dijumpai.
Selain tentang kritik sosial, di dalam sajak “Dua Puluh Tahun Lalu” dan “Ladang Garam Burung Cendrawasih”, “Pangeran Hutan Rimba”, “Perpustakaan Hutan Rimba” dan lain-lain, penyair mengungkapkan kritiknya tentang permasalahan lingkungan alam. Dalam sajak “Perputakaan Hutan Rimba” ada satu kutipan kalimat yang menohok masyarakat Indonesia, yaitu  “Penebangan pohon ilegal  secara terbuka untuk renovasi perpustakaan telah dimulai...”. Tentunya kutipan itu mengkritisi tentang penebangan pohon secara liar yang bahkan terjadi hingga sekarang di Indonesia ini. Sedangkan sajak yang kedua dan ketiga menyoroti tentang pengeksploitasian burung cendrawasih oleh manusia-manusia yang serakah, hingga saat ini burung tersebut menjadi burung langka yang sangat dijaga habitatnya agar tidak punah. Seperti pada sajak sebelumnya, penyair mengemas kritiknya dengan apik, sehingga tetap terasa estetika dalam setiap ungkapan makna yang dihadirkan dalam kumpulan sajak ini.
Ada yang berbeda dari pengungkapan sajak “Terowongan”. Jika sajak lainnya menggunakan gaya puisi modern, sajak ini menggunakan penyusunan yang berbeda, karena terdapat permainan sudut pandang di dalamnya.  Sajak ini dibagi menjadi 3 bagian, dimana bagian pertama merupakan sudut pandang anak laki-laki, bagian kedua sudut pandang anak perempuan, dan bagian ketiga merupakan sudut pandang dari penyair yang menghubungkan kisah anak laki-laki dan anak perempuan itu.
Akhirnya buku dengan jumlah 123 halaman dan tebal 13 cm x 20 cm ini menghadirkan potret Indonesia hampir secara menyeluruh. Pengungkapan diksi yang menarik dan penuh makna merupakan daya tarik dari buku ini. Meskipun hasil terjemahan tetapi buku ini tak kalah menarik jika disandingkan dengan buku kumpulan sajak yang memang ditulis oleh penyair Indonesia. Penyair banyak menyoroti tentang hal-hal yang sudah mulai terlupakan oleh masyarakat Indonesia sendiri, diantaranya tentang objek-objek masa lalu, perawatan pohon, juga kritik-kritik tentang alam dan problem sosial yang memang menjadi masalah utama yang terjadi saat ini. Selain 61 puisi yang menarik, editor (Candra Gautama) dan penata letak (Teguh Erdyan dan Wendie Artswenda) terlihat sangat teliti dalam memperhatikan tulisan-tulisan dalam buku ini, karena tidak ditemukan kesalahan penulisan dalam buku ini dengan tata letak yang estetik. Pembaca dapat menyelami sajak-sajak dalam buku ini dengan asyik.
Keseluruhan cerita dalam kumpulan sajak di buku ini terwakili oleh ungkapan dari seorang penerjemah buku ini, Nenden Lilis A. Ia mengungkapkan:
“Dalam kumpulan sajak ini, penyair Choi, Jun mengangkat segala nuansa yang hidup dan berdegup dalam pengalaman hidupnya selama di Indonesia. Ia tampak menghayati, merasakan dan menyelami semua itu dengan dekat bahkan hingga hal-hal kecil dan mungkin tampak sepele. Dari sudut pandang saya sebagai penerjemah, buku ini selain memberi kontribusi sebagai dokumen sosial, memperkaya dan menyadarkan pandangan kita akan hal-hal yang luput dari kesadaran keseharian kita karena terlanjur dianggap biasa dan rutin.”




Tidak ada komentar:

Posting Komentar