Novel “Hilang Arah” Sdavincii:
ISAK
DALAM JARAK
Oleh:
Lestari Kusuma Dewi
Judul buku : Hilang Arah
Penulis : Sdavincii
Penerbit : Gradien Mediatama
Cetakan pertama: Desember 2019
“Kalaupun
jarak bukan menjadi penghalang untuk mengabadikan semuanya, maka jarak bisa
menjadi titik hancur untuk meruntuhkan semaunya.”
(Sdavinci, “Hilang Arah”)
Jarak
menjadi awal mula terjadinya konflik dalam cerita novel yang diberi judul “Hilang
Arah” ini. Tokoh Aku meninggalkan kekasih yang sangat amat dicintainya untuk
melakukan pengamatan di sebuah pulau terpencil yang jauh dari kota, Pulau Kopi.
Ia melakukan pengamatan itu untuk memenuhi tugas akhir dari salah satu dosen
yang cukup menakutkan. Ia memilih ekspedisi ke Pulau Kopi karena tempat itu
terasa asing. Jadi, ia tertarik untuk melakukan pengamatan disana. Klasifikasi tenaga
kerja yang dibutuhkan disana ternyata tak banyak, hanya tersedia dua slot,
untuk fotografer dan seorang analis yang bisa mengajar anak-anak disana
sekaligus membuat laporan dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar. Ia segera
mendaftar di slot analis, selain karena slot untuk fotografer sudah terisi, ia
juga tidak mahir memotret. Sebelum berangkat, ia menemui rekan fotografernya
dan pamit pada kekasihnya. Dengan seikat janji ia pergi, meskipun terasa berat,
tekad harus tetap kuat. Tak disangka itu menjadi awal mula segala gundah dan
resah, akankah ia hilang arah?
Novel
“Hilang Arah” merupakan novel yang ditulis setelah novel “Buku Tamu” oleh
Sdavincii. Sdavincii merupakan nama pena dari seorang pemuda persilangan
Arab-Bugis bernama Syafiq Zakin. Dalam tulisannya, ia selalu bilang bahwa kelahirannya tiga hari sebelum bulan Februari berakhir dan tanpa tahun yang jelas. Sejak
migrasi dari Bali ke Malang pada tahun 2011, ia mulai menjadi santri. Enam
tahun di pesantren, ia aktif berkecimpung pada organisasi asrama dan dunia
tulis menulis majalah dinding. Bahkan, nama Sdavincii lahir dari paksaan
seorang teman untuk membuat sebuah akun Instagram
yang khusus berisi sajak-sajak yang ditulisnya. Davinci diambil sebagai buah
kekaguman atas mahakarya Leonardo Da Vinci sebagai penulis, pelukis, dan
sebagainya. Saat akan digunakan ternyata sudah ada akun yang memakai nama
Davinci, setelah dipikir berulang kali, akhirnya ia menambahkan inisial namanya
di depan hingga lahirlah Sdavincii.
Cerita
dalam novel yang diterbitkan oleh Gradien Mediatama pada Desember 2019 ini,
berisi prolog dan 45 bagian cerita yang saling berkaitan satu sama lain. Hal yang
menarik dalam novel ini adalah adanya sajak yang menjadi pemisah setiap bagian
cerita dan menjadi pembuka jalan cerita untuk bagian selanjutnya. Dengan
menyelami sajak yang ditulis sebelum bagian cerita, pembaca akan bisa menebak cerita
yang akan terjadi selanjutnya. Selain itu, novel ini mengangkat banyak hal yang
sangat erat dengan kehidupan dari mulai keluarga, persahabatan, kritik
pemerintah, pendidikan, meskipun yang paling mendominasi adalah kisah
percintaannya. Kritik yang dibangun juga disampaikan dengan sangat apik dalam
berbagai cara, baik dengan perumpamaan, kejadian yang disesuaikan dengan
realita kehidupan, atau dengan dialog antar tokoh, sehingga kritiknya dapat
diterima dengan baik dan tidak frontal. Hampir dalam keseluruhan cerita, kata
dan kalimat yang digunakan memiliki rima yang pas, sehingga kalimatnya menjadi
indah. Buku ini terasa dekat dengan generasi millenial di zaman ini, apalagi
sekarang berkeliaran bucin (budak
cinta) yang hits di kalangan mereka. Tentunya,
buku ini akan membuat mereka baper (bawa perasaan) ketika membacanya.
Dimana
ada kelebihan, disana ada kekurangan. Dalam buku ini pun begitu adanya. Di beberapa
bagian ada kalimat yang seolah hilang sehingga ceritanya menjadi rumpang dan
pesannya kurang tersampaikan. Misalnya dalam kalimat, “Tapi apakah kita tak kesempatan untuk memberi penghormatan terakhir
pada kepergian itu?...”. Dalam kalimat di bagian cerita ke 26 halaman 137
ini, kalimatnya kurang enak diresapi, karena ada kata yang seharusnya
ditambahkan agar pesannya lebih mendalam. Jika kalimat itu misalnya diubah
menjadi “Tapi apakah kita tak diberi
kesempatan untuk memberi penghormatan terakhir pada kepergian itu?...”. Penambahan
kata diberi tentu menambah estetik dan memperdalam makna kalimat tersebut. Begitupun
dibeberapa bagian yang lain. Meskipun begitu untuk keseluruhan cerita
penyunting (Rahastri Fajar Puspasari) dan penyelaras aksara (Tri Prasetyo,
Inoer H.) sudah cukup berhasil membuat buku ini terlihat sangat estetik. Selain
itu, penutup cerita yang dibuat penulis ini masih mengambang. Sepertinya,
penulis memang sengaja membuat penceritaan yang seperti itu agar pembaca dapat
leluasa memilih akhir cerita tokoh utama sesuai keinginannya. Entah pada
akhirnya tokoh utama akan mati dalam keputusasaan atau malah bangkit dengan
adanya cinta yang menggetarkan perasaan? Jawabannya ada ditangan pembaca
sekalian.
Penceritaan
dalam novel ini menggunakan alur maju dengan penggambaran watak tokoh yang
diperlihatkan lewat tingkah laku, reaksi tokoh terhadap suatu kejadian, dan
dialog antar tokoh. Ada 4 tokoh utama cerita dalam novel ini, yaitu Aku, Adinda
(Kekasih Aku), Rekan Fotografer, dan Sang Dokter. Sementara tokoh pendamping
yang hanya muncul di beberapa bagian cerita diantaranya Pak Dosen, Ela, Wawak
Kampung, Pihak Expo, Mamak Arisan, dan Martiaz. Latar yang dibangun dalam novel
ini lebih banyak berlatar Pulau Kopi. Penulis sangat apik menghadirkan segala
nuansa sejarah, keindahan dan kekayaan alam khususnya yang berhubungan dengan
kopi. Sudut pandang orang pertama sebagai pelaku utama digunakan oleh penulis
dalam penceritaan novel “Hilang Arah”
ini. Gaya bahasa yang unik dan dirangkai sedemikian rupa agar rima akhir di
setiap kalimat sama menjadi ciri khas novel yang ditulis Sdavincii ini.
Sampul
yang didominasi warna hitam yang didesain oleh Katalika Project, Techno sedikitnya memberikan
gambaran pada pembaca bahwa cerita didalam buku ini akan dipenuhi kelam dan
gelap pekat. Pada budaya barat, warna hitam ini melambangkan kematian dan
kesedihan yang mendalam sehingga menimbulkan perasaan tertekan. Selain itu,
gambar kaki yang menggantung juga dapat diibaratkan seseorang yang sudah tak
tahu lagi harus melangkah ke arah mana atau sudah buta langkah, sehingga
sangatlah cocok jika penulis memberi judul “Hilang Arah” untuk novel ini.
Akhirnya,
cerita yang diangkat dalam novel ini sangat cocok dinikmati oleh para remaja
atau dewasa yang sedang dimabuk asmara agar mereka tak terlalu berlebihan dalam
memaknai cinta pada pasangannya. Ketika kita terlalu berharap pada manusia,
maka bersiaplah untuk kecewa. Pada cerita yang diangkat oleh Sdavincii ini,
kita bisa belajar bersama, bahwa kepercayaan berperan penting dalam sebuah
hubungan. Permasalahan harus segera diselesaikan. Cinta bukan permainan yang
kau tinggalkan saat merasa bosan atau kau sudahi saat sudah ada pengganti. Jangan
hilang arah karena cinta yang kandas atau kasih yang telah tinggal ditempat
yang abadi. Kamu selalu kuat karena telah bertahan sampai sejauh ini.
Seperti
yang Sdavinci tuliskan dalam sampul penutup bukunya.
Waktu tinggal detik.
Langkah tinggal jejak.
Di sela hujan rintik,
yang terdengar hanya isak.
(Sdavincii,
“Hilang Arah”)