Minggu, 29 Desember 2019

RESENSI NOVEL "HILANG ARAH" SDAVINCII

 Novel “Hilang Arah” Sdavincii:

ISAK DALAM JARAK

Oleh: Lestari Kusuma Dewi



Judul buku : Hilang Arah                                  
Penulis        : Sdavincii
Penerbit      : Gradien Mediatama
Cetakan pertama: Desember 2019


Kalaupun jarak bukan menjadi penghalang untuk mengabadikan semuanya, maka jarak bisa menjadi titik hancur untuk meruntuhkan semaunya.”
(Sdavinci, “Hilang Arah”)

Jarak menjadi awal mula terjadinya konflik dalam cerita novel yang diberi judul “Hilang Arah” ini. Tokoh Aku meninggalkan kekasih yang sangat amat dicintainya untuk melakukan pengamatan di sebuah pulau terpencil yang jauh dari kota, Pulau Kopi. Ia melakukan pengamatan itu untuk memenuhi tugas akhir dari salah satu dosen yang cukup menakutkan. Ia memilih ekspedisi ke Pulau Kopi karena tempat itu terasa asing. Jadi, ia tertarik untuk melakukan pengamatan disana. Klasifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan disana ternyata tak banyak, hanya tersedia dua slot, untuk fotografer dan seorang analis yang bisa mengajar anak-anak disana sekaligus membuat laporan dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar. Ia segera mendaftar di slot analis, selain karena slot untuk fotografer sudah terisi, ia juga tidak mahir memotret. Sebelum berangkat, ia menemui rekan fotografernya dan pamit pada kekasihnya. Dengan seikat janji ia pergi, meskipun terasa berat, tekad harus tetap kuat. Tak disangka itu menjadi awal mula segala gundah dan resah, akankah ia hilang arah?

Novel “Hilang Arah” merupakan novel yang ditulis setelah novel “Buku Tamu” oleh Sdavincii. Sdavincii merupakan nama pena dari seorang pemuda persilangan Arab-Bugis bernama Syafiq Zakin. Dalam tulisannya, ia selalu bilang bahwa  kelahirannya tiga hari sebelum bulan Februari berakhir dan tanpa tahun yang jelas. Sejak migrasi dari Bali ke Malang pada tahun 2011, ia mulai menjadi santri. Enam tahun di pesantren, ia aktif berkecimpung pada organisasi asrama dan dunia tulis menulis majalah dinding. Bahkan, nama Sdavincii lahir dari paksaan seorang teman untuk membuat sebuah akun Instagram yang khusus berisi sajak-sajak yang ditulisnya. Davinci diambil sebagai buah kekaguman atas mahakarya Leonardo Da Vinci sebagai penulis, pelukis, dan sebagainya. Saat akan digunakan ternyata sudah ada akun yang memakai nama Davinci, setelah dipikir berulang kali, akhirnya ia menambahkan inisial namanya di depan hingga lahirlah Sdavincii.

Cerita dalam novel yang diterbitkan oleh Gradien Mediatama pada Desember 2019 ini, berisi prolog dan 45 bagian cerita yang saling berkaitan satu sama lain. Hal yang menarik dalam novel ini adalah adanya sajak yang menjadi pemisah setiap bagian cerita dan menjadi pembuka jalan cerita untuk bagian selanjutnya. Dengan menyelami sajak yang ditulis sebelum bagian cerita, pembaca akan bisa menebak cerita yang akan terjadi selanjutnya. Selain itu, novel ini mengangkat banyak hal yang sangat erat dengan kehidupan dari mulai keluarga, persahabatan, kritik pemerintah, pendidikan, meskipun yang paling mendominasi adalah kisah percintaannya. Kritik yang dibangun juga disampaikan dengan sangat apik dalam berbagai cara, baik dengan perumpamaan, kejadian yang disesuaikan dengan realita kehidupan, atau dengan dialog antar tokoh, sehingga kritiknya dapat diterima dengan baik dan tidak frontal. Hampir dalam keseluruhan cerita, kata dan kalimat yang digunakan memiliki rima yang pas, sehingga kalimatnya menjadi indah. Buku ini terasa dekat dengan generasi millenial di zaman ini, apalagi sekarang berkeliaran bucin (budak cinta) yang hits di kalangan mereka. Tentunya, buku ini akan membuat mereka baper (bawa perasaan) ketika membacanya.

Dimana ada kelebihan, disana ada kekurangan. Dalam buku ini pun begitu adanya. Di beberapa bagian ada kalimat yang seolah hilang sehingga ceritanya menjadi rumpang dan pesannya kurang tersampaikan. Misalnya dalam kalimat, “Tapi apakah kita tak kesempatan untuk memberi penghormatan terakhir pada kepergian itu?...”. Dalam kalimat di bagian cerita ke 26 halaman 137 ini, kalimatnya kurang enak diresapi, karena ada kata yang seharusnya ditambahkan agar pesannya lebih mendalam. Jika kalimat itu misalnya diubah menjadi “Tapi apakah kita tak diberi kesempatan untuk memberi penghormatan terakhir pada kepergian itu?...”. Penambahan kata diberi tentu menambah estetik dan memperdalam makna kalimat tersebut. Begitupun dibeberapa bagian yang lain. Meskipun begitu untuk keseluruhan cerita penyunting (Rahastri Fajar Puspasari) dan penyelaras aksara (Tri Prasetyo, Inoer H.) sudah cukup berhasil membuat buku ini terlihat sangat estetik. Selain itu, penutup cerita yang dibuat penulis ini masih mengambang. Sepertinya, penulis memang sengaja membuat penceritaan yang seperti itu agar pembaca dapat leluasa memilih akhir cerita tokoh utama sesuai keinginannya. Entah pada akhirnya tokoh utama akan mati dalam keputusasaan atau malah bangkit dengan adanya cinta yang menggetarkan perasaan? Jawabannya ada ditangan pembaca sekalian.

Penceritaan dalam novel ini menggunakan alur maju dengan penggambaran watak tokoh yang diperlihatkan lewat tingkah laku, reaksi tokoh terhadap suatu kejadian, dan dialog antar tokoh. Ada 4 tokoh utama cerita dalam novel ini, yaitu Aku, Adinda (Kekasih Aku), Rekan Fotografer, dan Sang Dokter. Sementara tokoh pendamping yang hanya muncul di beberapa bagian cerita diantaranya Pak Dosen, Ela, Wawak Kampung, Pihak Expo, Mamak Arisan, dan Martiaz. Latar yang dibangun dalam novel ini lebih banyak berlatar Pulau Kopi. Penulis sangat apik menghadirkan segala nuansa sejarah, keindahan dan kekayaan alam khususnya yang berhubungan dengan kopi. Sudut pandang orang pertama sebagai pelaku utama digunakan oleh penulis dalam  penceritaan novel “Hilang Arah” ini. Gaya bahasa yang unik dan dirangkai sedemikian rupa agar rima akhir di setiap kalimat sama menjadi ciri khas novel yang ditulis Sdavincii ini.

Sampul yang didominasi warna hitam yang didesain oleh Katalika  Project, Techno sedikitnya memberikan gambaran pada pembaca bahwa cerita didalam buku ini akan dipenuhi kelam dan gelap pekat. Pada budaya barat, warna hitam ini melambangkan kematian dan kesedihan yang mendalam sehingga menimbulkan perasaan tertekan. Selain itu, gambar kaki yang menggantung juga dapat diibaratkan seseorang yang sudah tak tahu lagi harus melangkah ke arah mana atau sudah buta langkah, sehingga sangatlah cocok jika penulis memberi judul “Hilang Arah” untuk novel ini.

Akhirnya, cerita yang diangkat dalam novel ini sangat cocok dinikmati oleh para remaja atau dewasa yang sedang dimabuk asmara agar mereka tak terlalu berlebihan dalam memaknai cinta pada pasangannya. Ketika kita terlalu berharap pada manusia, maka bersiaplah untuk kecewa. Pada cerita yang diangkat oleh Sdavincii ini, kita bisa belajar bersama, bahwa kepercayaan berperan penting dalam sebuah hubungan. Permasalahan harus segera diselesaikan. Cinta bukan permainan yang kau tinggalkan saat merasa bosan atau kau sudahi saat sudah ada pengganti. Jangan hilang arah karena cinta yang kandas atau kasih yang telah tinggal ditempat yang abadi. Kamu selalu kuat karena telah bertahan sampai sejauh ini.

Seperti yang Sdavinci tuliskan dalam sampul penutup bukunya.

Waktu tinggal detik.
Langkah tinggal jejak.
Di sela hujan rintik,
yang terdengar hanya isak.
(Sdavincii, “Hilang Arah”)


Minggu, 22 Desember 2019

RESENSI SASTRA (BUKU KUMPULAN SAJAK ORANG SUCI, POHON KELAPA)

Sajak-Sajak Choi, Jun: Jejak Kenangan tentang Nusantara
Oleh  Lestari Kusuma Dewi




Judul Buku: Kumpulan Sajak Orang Suci, Pohon Kelapa

Penulis                  : Choi, Jun
Penerjemah           : Kim Yong Soo dan Nenden Lilis A.
Penerbit                : Kepustakaan Populer Gramedia
Tebal buku            : ix + 123
Cetakan pertama  : Oktober 2019





Kematian di luar dugaan
menyela di tengah kehidupan
 (Choi, Jun, “Jejak atau Ingatan”)

Dalam pengantarnya yang tertuang dalam buku kumpulan sajak yang diberi judul “Orang Suci, Pohon Kelapa”, Choi, Jun mempersembahkan bukunya untuk ayahanda dan adiknya tercinta yang sudah tinggal dalam keabadian. Choi, Jun mengungkapkan ayahnyalah yang telah mengajaknya tinggal di Indonesia selama 5 tahun (2000-2005). Kumpulan sajak yang tertuang di buku ini merupakan jejak kenangan dari hasil Ia merenungi alam semesta selama Ia tinggal di Indonesia. Itulah awal mula terciptanya buku kumpulan sajak tentang Indonesia ini. Choi, Jun sendiri lahir di Kabupaten Jeongseon, Provinsi Gangwon, Korea, tahun 1963. Selain Kumpulan Sajak Orang Suci, Pohon Kelapa, Choi Jun juga memiliki banyak karya lainnya diantaranya Kau Masih di Sana; Anjing; Melemparkannya ke Dunia Tanpa Aku; Meditasi tentang Rumah atau Pencarian Jalan (kumpulan sajak tiga penyair); dan Cinta Gaya Slav (kumpulan sajak tiga penyair). Karya-karyanya tersebut mengantarkan Choi Jun pada sebuah penghargaan sebagai penyair baru dari Sastra Bulanan Korea pada tahun 1984. 
Kumpulan Sajak Orang Suci, Pohon Kelapa ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Kim Yong Soo dan Nenden Lilis A. yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia dengan cetakan pertama Oktober 2019. Lewat kumpulan sajak ini, penyair menuangkan pengalamannya ketika Ia tinggal di Indonesia yang kebudayaan dan tradisinya sangat jauh berbeda dengan Korea. Upaya penerjemah dalam mempertahankan estetika dan unsur-unsur puitik sajak-sajak dalam buku ini terlihat jelas. Hal itu terjadi karena kedua penerjemah buku ini juga memang berkecimpung di dunia kesusasteraan. Kim Yong Soo sudah menulis dan mengarang sejumlah tesis dan buku-buku. Ia juga pernah memegang jabatan sebagai Kepala Siaran Bahasa Indonesia, Siaran Internasional, KBS (Korean Broadcasting System) selama 30 tahun dan baru-baru ini mendapat pengghargaan dari majalah sastra Korea Changjak 21 sebagai penyair baru. Begitu pula dengan Nenden Lilis A., Ia banyak menulis sajak, cerpen, dan esai yang sudah dimuat dalam berbagai media massa nasional dan internasional. Salah satu karyanya yang berupa Kumpulan Cerpen Ruang Belakang mendapatkan Penghargaan Pusat Bahasa pada tahun 2005. Ia juga kerap kali diundang untuk menjadi pembicara di banyak event sastra. Selain itu, Ia juga banyak menerjemahkan karya sastra mancanegara. Oleh sebab itu, tentu Kim Yong Soo dan Nenden Lilis A. merupakan perpaduan yang tepat untuk menerjemahkan sajak-sajak tentang Indonesia karya Choi, Jun ini.
Buku yang berisi 61 judul sajak ini mengangkat segala fenomena kehidupan yang tak terbayangkan sebelumnya. Hal-hal yang dianggap biasa dapat menjadi sebuah kemasan yang menarik jika dikaitkan dalam berbagai aspek kehidupan. Banyak pengimajinasian tentang alam, keberagaman flora dan fauna, lingkungan, keadaan sosial di masyarakat dan masih banyak lagi yang dalam hal ini kaitannya dengan Indonesia. Kita ketahui bersama bahwa Indonesia kaya akan flora dan fauna. Selain itu, Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan dengan kurang lebih 17.504 pulau, 1.340 suku bangsa, dan 546 bahasa. Apakah sajak-sajak yang ditulis Choi, Jun dalam buku ini dapat melukiskan Indonesia sepenuhnya?
Sajak pertama yang membuka lembaran buku ini berjudul “Pisang di Pulau Jawa”. Sajak ini bercerita tentang seorang wanita yang memiliki banyak anak tetapi tak memiliki suami. Terdapat banyak majas personifikasi dalam sajak ini. Salah satunya dalam kalimat “Di sungai, laut, dataran, juga rumah terguncang sedih”. Dalam kalimat tersebut diksi sedih merupakan hal yang biasanya dirasakan oleh manusia. Namun, dalam sajak ini konteks sedihnya merujuk kepada sungai, laut, dataran, dan rumah.Dalam sajak yang tertuang di  buku ini sangat terlihat jelas ketertarikan penyair terhadap pohon yang tumbuh di Indonesia dan dekat dengan kehidupan masyarakat. Pohon pisang yang dianggap hal biasa di Indonesia diangkat dalam dua judul sajak dalam buku ini. Sajak lainnya berjudul “Sketsa Terakhir Tentang Pisang”, sajak tentunya dikemas dengan diksi yang indah, seperti salah satu kutipannya, yaitu “...Pisang, terlalu ringan. Seolah akan berkelepak terbang. Jika dipanggil namanya”. Selain pisang ada juga pohon lain yaitu Pepaya yang diberi judul “Tarian Pepaya”. Sajak itu bercerita tentang sebatang pohon pepaya yang tumbuh di tepi pantai yang disandingkan dengan tarian anak perempuan dan anak laki-laki yang disebutkan putri dan putra pepaya yang mungil. Selain pohon pisang dan pohon pepaya, ada juga pohon kelapa. Bahkan, “Orang Suci, Pohon Kelapa” oleh penyair diangkat menjadi judul buku ini. Penyair dengan gaya yang unik mengilustrasikan pohon kelapa menjadi orang bodoh yang pinggangnya sudah bengkok dan ringkih yang terus bertahan dalam berbagai musim meskipun tubuhnya terluka dan kehausan. Ia selalu mengenakan tasbih tengkorak dan menunggu waktu untuk sepenuhnya melapuk di kuburan. Bagi masyarakat Indonesia, persajakan tentang pohon yang dihadirkan oleh penyair Choi, Jun tentu hal yang menarik, karena jarang sekali menemukan sajak-sajak dari penyair Indonesia yang menyoroti hal tersebut. Akan tetapi jika dipandang dari kebudayaan Korea, hal itu tentu sesuai dengan nilai-nilai yang dijunjung masyarakatnya. Salah satu kebiasaan masyarakat Korea yang patut di tiru oleh masyarakat Indonesia sendiri adalah “Memanusiakan Pohon”. Pohon yang telah ditanam ditopang dengan batang kayu yang dilapisi serabut kelapa agar sang pohon tak merasa sakit atau terluka. Pada musim panas, Pengelola Pertamanan Korea memberikan pengairan dan infus kepada pohon agar tidak kehausan dan dehidrasi. Pada musim dingin, pohon akan diselimuti oleh aneka ijuk yang dibentuk seperti tikar agar terhindar dari serbuan angin musim dingin. Hal tersebut tentu sangat jarang  dijumpai di Indonesia.
Selain tentang pohon, penyair juga sangat terlihat menghayati nuansa kehidupan sehari-harinya selama Ia tinggal di Indonesia. Bahkan hal-hal kecil yang tampak sepele di hadirkan melalui sajak-sajaknya, diantaranya tentang semut (Semut-Semut Petang Hari), kura-kura (Kura-Kura Laut), dan lain-lain. Penyair juga menghadirkan suasana pegunungan dan pesisir pantai, karena sebagian besar sajaknya berlatar tempat tersebut. Dalam kumpulan sajak ini ditemukan juga pandangan dan perasaan penyair tentang kehidupan sehari-hari seperti tentang andong (Andong Kuda Poni dan Andong Kuda Poni 2), nelayan (Pemuda Nelayan), dan lain-lain. Selain itu, keindahan alam dan objek wisata Indonesia dituangkan juga lewat sajak-sajak diantaranya “Candi Borobudur”, “Puncak”, “Pemandangan Ladang Tebu 1”, “Pemandangan Ladang Tebu 2”, dan “Cara Bertamasya di Bali dengan Sedap”, meskipun dalam isi puisinya di beberapa bagian juga mengandung kritik terhadap cara pandang dan kerja paksa yang memang sempat terjadi di Indonesia.
Selain itu ada beberapa sajak yang menyoroti tentang objek-objek bersejarah yang berlatar museum, seperti pada sajak “Homo Erectus”, “Kerutan Waktu” dan lain-lain.  Dalam hal ini pembaca diajak menghayati suasana masa lalu hingga masuk pada peradaban-peradaban yang dewasa ini mulai dilupakan. Kedua sajak itu dikemas dengan pilihan diksi yang sangat puitis, contohnya dalam kutipan sajak kerutan waktu di bagian akhir, "...Pukul enam sore, saat lampu museum dinyalakan. seakan datang lagi kegelapan gua batu. Di sela lutut kakek yang mengering. melintas kembali angin yang pernah bertiup. di hutan rimba dua ratus tahun silam". Oleh karena itu,  pembaca tidak akan merasa bosan ketika membacanya,
Dalam kumpulan sajak dari Choi, Jun ini juga dapat dijumpai kritik sosial, salah satunya dalam sajak “Bulan Purnama untuk Malam Ini”. Dalam sajak tersebut Choi, Jun melukiskan tentang seorang anak yang masih berusia 6-7 tahun yang berada dalam kegelapan malam di gang sendirian. Namun, ada hal yang menarik dalam sajak ini jika di telaah lebih dalam. Sajak ini digambarkan sedikit surealis didukung dengan penceritaan yang menyayat hati. Tentu yang digambarkan dalam sajak ini adalah seorang anak jalanan, Ia sedang memakan roti yang entah didapatkan darimana karena toko sudah tutup. Tetapi roti itu tak habis-habis dan terus berbentuk bulat, karena Ia membayangkan bulan sebagai roti untuk Ia makan. Hal itu sangat mengiris hati, karena di Indonesia sendiri fenomena tersebut sangat sering dijumpai.
Selain tentang kritik sosial, di dalam sajak “Dua Puluh Tahun Lalu” dan “Ladang Garam Burung Cendrawasih”, “Pangeran Hutan Rimba”, “Perpustakaan Hutan Rimba” dan lain-lain, penyair mengungkapkan kritiknya tentang permasalahan lingkungan alam. Dalam sajak “Perputakaan Hutan Rimba” ada satu kutipan kalimat yang menohok masyarakat Indonesia, yaitu  “Penebangan pohon ilegal  secara terbuka untuk renovasi perpustakaan telah dimulai...”. Tentunya kutipan itu mengkritisi tentang penebangan pohon secara liar yang bahkan terjadi hingga sekarang di Indonesia ini. Sedangkan sajak yang kedua dan ketiga menyoroti tentang pengeksploitasian burung cendrawasih oleh manusia-manusia yang serakah, hingga saat ini burung tersebut menjadi burung langka yang sangat dijaga habitatnya agar tidak punah. Seperti pada sajak sebelumnya, penyair mengemas kritiknya dengan apik, sehingga tetap terasa estetika dalam setiap ungkapan makna yang dihadirkan dalam kumpulan sajak ini.
Ada yang berbeda dari pengungkapan sajak “Terowongan”. Jika sajak lainnya menggunakan gaya puisi modern, sajak ini menggunakan penyusunan yang berbeda, karena terdapat permainan sudut pandang di dalamnya.  Sajak ini dibagi menjadi 3 bagian, dimana bagian pertama merupakan sudut pandang anak laki-laki, bagian kedua sudut pandang anak perempuan, dan bagian ketiga merupakan sudut pandang dari penyair yang menghubungkan kisah anak laki-laki dan anak perempuan itu.
Akhirnya buku dengan jumlah 123 halaman dan tebal 13 cm x 20 cm ini menghadirkan potret Indonesia hampir secara menyeluruh. Pengungkapan diksi yang menarik dan penuh makna merupakan daya tarik dari buku ini. Meskipun hasil terjemahan tetapi buku ini tak kalah menarik jika disandingkan dengan buku kumpulan sajak yang memang ditulis oleh penyair Indonesia. Penyair banyak menyoroti tentang hal-hal yang sudah mulai terlupakan oleh masyarakat Indonesia sendiri, diantaranya tentang objek-objek masa lalu, perawatan pohon, juga kritik-kritik tentang alam dan problem sosial yang memang menjadi masalah utama yang terjadi saat ini. Selain 61 puisi yang menarik, editor (Candra Gautama) dan penata letak (Teguh Erdyan dan Wendie Artswenda) terlihat sangat teliti dalam memperhatikan tulisan-tulisan dalam buku ini, karena tidak ditemukan kesalahan penulisan dalam buku ini dengan tata letak yang estetik. Pembaca dapat menyelami sajak-sajak dalam buku ini dengan asyik.
Keseluruhan cerita dalam kumpulan sajak di buku ini terwakili oleh ungkapan dari seorang penerjemah buku ini, Nenden Lilis A. Ia mengungkapkan:
“Dalam kumpulan sajak ini, penyair Choi, Jun mengangkat segala nuansa yang hidup dan berdegup dalam pengalaman hidupnya selama di Indonesia. Ia tampak menghayati, merasakan dan menyelami semua itu dengan dekat bahkan hingga hal-hal kecil dan mungkin tampak sepele. Dari sudut pandang saya sebagai penerjemah, buku ini selain memberi kontribusi sebagai dokumen sosial, memperkaya dan menyadarkan pandangan kita akan hal-hal yang luput dari kesadaran keseharian kita karena terlanjur dianggap biasa dan rutin.”




RESENSI SASTRA (PERTUNJUKAN MORITO DAN DUA PELAYAN DI RASHOMON)

Pentas “Morito dan Dua Pelayan di Rashomon”  Zulfa Nasrullah:
SETIAP ORANG ADALAH BENCANA!
Oleh: Lestari Kusuma Dewi

Auditorium Institut Francais Indonesia telah disihir menjadi Rashomon yang luluhlantak akibat bencana. Kertas putih yang menjuntai ke bawah diibaratkan gedung-gedung yang telah runtuh. Tarian dari seorang wanita berkimono putih yang lemah gemulai dengan sorot cahaya yang mengikuti langkahnya diiringi suara kecapi mendatangkan aura mencekam di awal pertunjukan.
Wanita itu adalah Kesha, seorang wanita yang sudah memiliki suami tetapi terjerat cinta dengan seorang lelaki bernama Morito. Di tengah hujan yang mengguyur Rashomon, Morito mengenang percintaannya dengan Kesha yang menjadi candu. Ia telah berjanji pada wanita itu untuk membunuh seseorang yang tak pernah Ia benci. Di tengah renungannya Ia bertemu dengan dua orang pelayan yang baru kehilangan pekerjaannya.  Sambil menunggu hujan reda, mereka menyalakan api. Morito dan dua pelayan itu berbincang di malam yang semakin kelam di bawah reruntuhan Rashomon. Ketiganya berbagi cerita tentang bencana yang menghancurkan kota, kisah perampokan seorang nenek tua yang mencabuti     rambut mayat untuk mempertahankan hidupnya, kisah cinta terlarang, dan sampai pada rencana pembunuhan yang berujung tragis. Morito sebagai tokoh utama justru mati dibunuh oleh kedua pelayan yang merasa terancam dan terhina.
Itulah sekilas gambaran keseluruhan cerita yang dipertunjukan oleh Jalan Teater pada Sabtu (19/10/2019) yang disutradarai oleh Zulfa Nasrullah. Sejak dibentuk pada 2011, Jalan Teater sudah mulai menunjukkan eksistensinya di dunia teater. Ada banyak pertunjukan teater yang dipertunjukan diantaranya Petualangan Ken Arok (2015), Konspirasi (2014), Jelajah Topeng (2013), Kisah Cinta DLL (2011), dan karya lainnya. Nama Jalan Teater sendiri diambil dari seorang tokoh samurai bernama Musashi dalam novel karya Eiji Yoshikawa yang bukan hanya memahami bagaimana cara menggunakan samurai, tetapi setiap jurus samurai yang dipelajarinya mengajarkan Ia kebijaksanaan. Dengan dibentuknya Jalan Teater diharapkan dapat menjadi sarana untuk berekspresi dan tempat mereguk sebanyakbanyaknya ilmu dan pengalaman teater sehingga mampu mengaplikasikannya dalam pertunjukan dengan bijaksana.
Zulfa Nasrullah memang sangat aktif berkecimpung di dunia kesusastraan. Selain menjadi sutradara di beberapa pertunjukan teater, Zulfa juga banyak menghadirkan karya-karya tulisan sastra seperti prosa, puisi, kritik yang banyak dimuat di pelbagai media massa. Selain itu, Zulfa selalu memberikan hal yang menarik di setiap pertunjukan yang disutradarainya. Bentuk kritik tentang nilai-nilai kehidupan dikemas dengan apik sehingga memberikan kesan yang mendalam untuk penonton.
Pertunjukan Morito dan Dua Pelayan di Rashomon merupakan salah satu pertunjukan yang naskahnya diadaptasi dari kumpulan cerpen Rashomon karya Ryunosuke Akutagawa. Naskah ini berasal dari dua judul yang berbeda, yaitu “Kesha dan Morito” dan “Rashomon”. Sutradara mengembangkan tokoh dari kedua cerpen dan mempertemukannya dalam satu cerita yang berlatar sama yaitu Rashomon. Tokoh-tokoh itu akhirnya hidup dalam problema sosial yang terjadi akibat sebuah bencana. Setiap peristiwa yang terjadi ditengah kemunduran kota dibenturkan dengan nilai moral dan norma yang telah hidup dalam masyarakat. Selain Rashomon, ada banyak karya lain dari Ryunosuke Akutagawa yang bentuknya kumpulan cerpen, diantaranya Hana, Imogayu, Yabu No Naka, Jigokuhen, dan lain-lain. Dalam buku kumpulan cerpen yang diberi judul Rashomon ini, Ryonusuke Akutagawa berusaha mengkrit ik tentang perilaku manusia yang sudah tidak lagi manusiawi. Jelas sekali hal ini akan menarik jika dikemas dalam sebuah pertunjukan.
Ada beberapa hal yang menarik dalam pertujukan ini. Cerita dua cerpen yang dipadukan memunculkan kisah baru yang kompleks dan sangat padu. Sutradara dibantu oleh Rafqi Sadikin sebagai Pimpinan Produksi mengahadirkan suatu pertunjukan yang berbeda. Tokoh, suasana, latar, dan alur cerita saling mendukung satu sama lain, sehingga adegan yang dimunculkan selalu memberikan kesan dan pesan yang mendalam. Selain itu, Hana Eka Hidayati (Kesha), May Ramadhan (Morito), Fuad Jauharudin (Pelayan 1), dan Willy Fahmi Agiska (Pelayan 2) sebagai aktor menggunakan properti panggung dengan sangat baik. Aliran surealis sangat terasa sepanjang pertunjukan. Properti yang hanya berupa kertas putih dialihfungsikan menjadi uang, kayu bakar, dan diimajikan menjadi reruntuhan Rashomon. Jika dikaitkan dengan kebudayaan Jepang, tentu hal tersebut relevan mengingat Jepang merupakan salah satu negara yang sering dilanda gempa. Oleh karena itu, bangunan di Jepang dibangun dengan bahan yang ringan dan tahan gempa. Maudy Widitia (Stage Manager) sangat tepat menggunakan kertas yang ringan untuk mengimajikan Jepang. Apalagi yang diangakat memang berlatar suasana kehancuran Rashomon pasca bencana. Galih Mahara (Penata Gerak) memberi pengarahan yang baik untuk para aktor sehingga saat pertunjukan berlangsung gestur dan ekspresi para aktor juga sangat baik, adegan demi adegan dilewati dengan tertib dan apik. Salah satunya terlihat pada adegan dimana kedua pelayan bertarung menggunakan samurai, semua dilakukan dengan sangat total sehingga ketegangannya sampai ke kursi penonton.
Sepanjang pertunjukan didominasi oleh warna biru, kuning dan hitam. Aji Sangiaji sebagai penata cahaya berusaha mengolaborasikan ketiga warna tersebut untuk mendukung suasana pertunjukan. Warna biru diibaratkan ketenangan yang jika dipakai dominan warna ini akan menciptakan perasaan sedih. Hal itu tentu relevan dengan pertunjukan yang memang banyak memunculkan nuansa melankolis dan dipenuhi kesedihan. Untuk menunjukan hasrat yang menggebu-gebu, Aji menghadirkan warna kuning di beberapa bagian perrtunjukan. Selain itu warna hitam dipakai untuk menimbulkan kesan menakutkan, menegangkan, suram dan penuh misteri. Oleh karena itu, pencahayaan sangat mendukung penceritaan dalam pertunjukan ini.
Selain penataan cahaya, hal yang penting juga dalam sebuah pertunjukan adalah penata rias dan kostum. Dengan latar tempat negeri sakura, tentu para aktor menggunakan pakaian kimono. Selain itu, penggunaan samurai juga memperkuat latar yang dihadirkan dalam pertunjukan. Dengan pakaian yang menarik perhatian dan riasan yang menunjang ekspresi aktor tentu Arlene Dwiasti berhasil dengan konsep rias dan kostumnya.
Pertunjukan teater tidak hanya mengandalkan vokal atau suara dari para aktornya, tetapi juga perlu didukung dengan penataan musik yang sesuai agar suasana yang akan dibangun dalam pertunjukan lebih terasa. Ridwan Saidi menghadirkan musik dalam pertunjukan sebagai ilustrasi, pemberian efek, dan penguat karakter atau suasana. Musik kecapi yang dilantunkan di awal pertunjukan menghadirkan aura mencekam dan mengantarkan kita ke suasana negeri sakura. Suara dentuman keras menandakan sesuatu yang gawat dan suasana menegangkan. Musik sangat berperan penting untuk menunjang pertunjukan agar penonton lebih merasakan suasana yang dibangun dalam pertunjukan.
Dalam setiap kelebihan pasti ada kekurangan, begitupun dalam pertunjukan ini. Bagi penonton yang belum pernah membaca cerita pasti akan merasa kebingungan dengan alur penceritaan yang kompleks. Setiap dialog yang dimunculkan mengandung arti yang sangat mendalam dan membutuhkan pemikiran yang kritis untuk membuka lembaran makna yang sebenarnya ingin disampaikan. Sutradara memang memberikan banyak keleluasaan kepada penonton untuk menafsirkan setiap kejadian yang dihadirkan. Sehingga pemahaman setiap orang tentang cerita dalam pertunjukan ini akan berbeda-beda. Selain itu, vokal aktor di beberapa adegan tidak terdengar dan kurang stabil, sehingga dialog yang disampaikan kurang jelas terdengar dan tidak sampai ke penonton.

Akhirnya, pertunjukan ini berusaha menghadirkan potret moral manusia di tengah bencana yang melanda. Moralitas manusia yang bergeser akibat bencana dihadirkan lewat tokoh-tokoh dalam cerita. Dari pertunjukan “Morito dan Dua Pelayan di Rashomon” dapat dilihat bahwa setiap orang dapat menjadi bencana ketika dihadapkan pada pergeseran moral untuk mempertahankan hidup dan eksistensinya. Meskipun penceritaan yang diangkat dalam pertunjukan tersebut adalah problema sosial Jepang pada masa kehancuran Kyoto, saya kira isi cerita dalam pertunjukan ini masih relevan dengan kejadian-kejadian yang terjadi saat ini. Melalui tafsir tentang moralitas tokoh-tokoh pada jaman itu, dikemaslah suatu pertunjukan yang menunjukkan moralitas manusia akan bergeser akibat bencana, baik bencana alam atau bencana karena manusia. Oleh karena itu, pertunjukan ini mengeksplorasi tafsir lain dari bencana tersebut yang berusaha disampaikan pada penonton yang mengapresiasi pertunjukan.

Jumat, 13 Desember 2019

GERBANG RASA

Selamat menjelajahi rasa lewat kata disini, teman-teman.. 
Semoga aku makin rajin menulis yaaa dan semoga kalian mengapresiasi dengan baik karya-karya apapun yang aku bagikan di blog ini. Terima kasih. Salam cinta dariku. 

LKD❤️